Sabtu, 27 Desember 2008

SUDAHKAH KITA BELAJAR?

Sebuah refleksi kritis terhadap pengalaman dalam proses pendidikan formal

Jaka Arya Sakti

“Untuk apa kamu sekolah?”, pertanyaan sederhana yang mungkin setiap orang yang bersekolah dapat dengan mudah menjawabnya. “Untuk belajar dong!”, dengan semangat sebagian besar kita akan menjawab. Oke, sekolah untuk belajar. Sekarang kita berandai-andai, andai saja ketika kita lahir tidak pernah ada sesuatu yang namanya sekolah, kira-kira masih ada tidak sesuatu yang namanya belajar? Lagi-lagi dengan semangat, sebagian besar kita akan menjawab, “Ya ada dong!”. Siip, berarti belajar tidak harus bergantung sekolah kan? Pertanyaan selanjutnya, bersediakah kita keluar dari sekolah? Toh sekolah atau tidak, kita masih bisa belajar. Nah, dari hasil observasi, hampir setiap orang yang ditanya pertanyaan ini akan termenung dulu, entah berpikir atau memang agak shock. Keluar dari institusi sekolah memang hal yang agak tidak biasa dalam norma masyarakat kita. Ternyata sebagian besar jawabannya adalah tidak. Loh? Kan tidak sekolah pun masih bisa belajar. Ternyata lagi, sebagian besar alasannya adalah IJAZAH. Loh? Loh? Loh? Coba kita ulang lagi pertanyaan pertama, “Untuk apa kamu sekolah?”. Loh? Kok diam?

Ya, kalau kita mau jujur terhadap diri kita sendiri, kita akan mengakui kalau proses kita bersekolah sudah begitu meaningless. Pernah merasa jenuh sekolah? Bosan menjalani rutinitas? Lari pagi agar tidak terlambat masuk sekolah, terkantuk-kantuk menahan bosan saat pelajaran, serta bersorak-sorai saat waktu istirahat dan pulang sekolah. Sebagian besar kita mungkin pernah melalui masa-masa itu. Saat akan menghadapi ujian atau ulangan barulah kita “belajar”. Tentunya mudah dimengerti kenapa ada tanda kutip mengapit kata belajar. Proses “belajar” kita di sekolah hanya berisi menghapal untuk menjawab soal-soal ujian. Hingga ada sebuah pertanyaan retoris lagi untuk kita, apakah karena kita belajar ada ujian atau karena ada ujian kita belajar?

Oke, katakanlah itu semua hanya bagian dari proses yang harus kita lalui. Katakanlah kita masih bisa berdalih angka nilai dalam ijazah itu adalah tolak ukur kemampuan hasil belajar kita. Pertanyaan selanjutnya, apa yang sudah bisa kita lakukan dalam kehidupan nyata dari hasil belajar yang diwakili angka nilai ijazah? Apa yang sudah bisa dilakukan seorang lulusan SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi untuk mengubah hidup dan masyarakat sekitarnya? Adakah sesuatu? Lagi-lagi jika kita mau jujur, kita akan menjawab tak ada yang kita perbuat. Sekalipun kita mampu, kita sudah terlanjur disterilkan dari realitas sekitar kita. Wajar Indonesia menjadi seperti saat ini.

Indonesia, sebuah negara yang (katanya) kaya raya, melimpah ruah sumber daya alamnya. Logisnya, Indonesia seharusnya menjadi salah satu yang maju dan sejahtera. Tapi kenyataanya tidak, sekitar 49% penduduk Indonesia, kira-kira 108,7 juta jiwa, standar hidupnya kurang dari 2 dolar per hari (versi World Bank, Oktober 2006). Tingkat pengangguran berdasarkan data tahun 2006 mencapai 11.6%. Dengan gelombang resesi ekonomi dunia, jumlah pengguran dan penduduk miskin ini boleh jadi bertambah seiring trend PHK yang terjadi. Lah kok bisa? Negeri kaya, tapi penduduknya miskin? Sekedar salah urus atau salah yang mengurus? Ya, manusia-manusia Indonesia belum cukup mampu mengoptimalkan kekayaan yang ada. Memang ada yang bisa memanfaatkan, tapi hanya untuk dirinya saja. Itu pun ada yang dengan merampas hak-hak orang lain. Dan hampir semua pelakunya adalah orang-orang “berpendidikan” yang “bersekolah”. Kenapa itu terjadi? Salah satunya akibat proses kompetisi semu dengan adanya mekanisme nilai dan peringkat kelas di sekolah. Pencapaian individu menjadi satu-satunya orientasi, bukan keberhasilan komunal. Indvidualisme bawaan ideologi kapitalis telah mengalahkan semangat gotong royong Indonesia. Ketika terjadi “kerja sama” malah dalam kerangka pelanggaran aturan seperti contek mencontek, tawuran, dan praktik-praktik kecurangan atau kejahatan lainnya. Dan inilah awal pembudayaan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ironis ya?

Realita ini tentunya membuat kita berpikir separah itukah pendidikan Indonesia. Tentu tidak, paling tidak semangat yang tercantum dalam konstitusi menunjukkan bahwa Indonesia punya visi dalam membangun manusia-manusianya. Pasal 31 UUD 1945 menyatakan dalam ayat 3 dan 5, bahwa (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; serta (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Ditambah lagi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Coba kita evaluasi diri kita dan perjalanan kita di sekolah, adakah semangat untuk mewujudkan visi ini? Hmmm. Jujur saja, tidak. Pertanyaan lagi, kenapa? Kenapa dalam implementasi pendidikan semangat ini tidak tercermin? Sederhana jawabnya, amanat konstitusi hanya menjadi simbol dan formalitas. Persis seperti sekolah, pendidikan Indonesia telah begitu meaningless.

Akibatnya, pelaku-pelaku sistem ekonomi kapitalis memanfaatkan pendidikan meaningless ini untuk kepentingannya (baca: keuntungan sebesar-besarnya) dan sukses mengaburkan paradigma masyarakat tentang esensi pendidikan. Proses pendidikan saat ini hanya dilihat sebagai proses pencetakan sumber daya manusia sebagai salah satu faktor produksi untuk disuplai ke pasar tenaga kerja. Karena itulah dibutuhkan ijazah, untuk memastikan standar yang diinginkan pasar dipenuhi. Ya, kita hanya disiapkan menjadi buruh. Lebih buruk lagi kita disiapkan menjadi robot, bukan lagi manusia. Robot yang diprogram, menghapal ini, menguasai itu, namun tak pernah tahu apa yang dia inginkan, kenapa dia melakukan itu. Karena itulah Paulo Freire, seorang filosof dan pemikir pendidikan alternatif asal Brasil, menamakan proses ini sebagai dehumanisasi, yaitu proses yang menjadikan manusia tidak lagi manusia. Wajar kemudian ada sebagian manusia menindas yang lain dan yang tertindas tak peka lagi dengan penindasan yang menimpanya, karena keduanya sama-sama telah kehilangan kemanusiaannya.

Proses pendidikan formal di sekolah telah menjauhkan manusia dari esensi kemanusiaannya. Apa esensi kemanusiaan kita? Esensi kemanusiaan kita adalah kemampuan berpikir dan menyadari tujuan kemanusiaan kita (sebut saja misi hidup) kemudian menentukan peran (sebut saja visi hidup atau cita-cita) apa yang kita ambil dalam menjalani tujuan kemanusiaan itu. Dua substansi inilah beda kita dengan hewan dan tumbuhan yang mengikuti naluri. Manusia mengembangkan potensi, mengambil pilihan, dan mendedikasikan dirinya untuk menjalankan tujuan kemanusiaan serta menjalankan peran yang dipilih secara sadar. Hmmm. Jika begitu, sudahkah kita menjadi manusia?

Oke, sebelum tulisan ini menjadi semakin panjang dan membosankan, kita ambil saja kesimpulan sementara sampai sejauh ini. Pendidikan formal (baca: sekolah) yang kita lalui ternyata tak seideal yang kita bayangkan. Sekolah telah membuat kita membatasi proses belajar kita, bahkan menggantinya dengan lomba mengejar ijazah. Jadi, sudahkah kita belajar? Jika kita pernah mengalami beberapa contoh yang di atas, boleh jadi kita belum benar-benar belajar. Kita hanya menghapal, menjalani rutinitas, menjadi robot. Dan kita bisa mulai melawan kawan! Lawanlah dengan kesadaran bahwa belajar tidaklah terbatas kelas, tidak terbatas waktu, tidak terbatas mata pelajaran!

Kita tidak boleh membiarkan sekolah membuat kita kehilangan kesadaran tentang tujuan kemanusiaan dan peran yang harus kita ambil. Karena kesadaran inilah yang membuat kita berbeda dengan si monyet, si lalat, si bakteri, si pohon toge, karena kita manusia. Manusia yang menggunakan hati dan akalnya untuk bisa memilih. Manusia yang merdeka dalam berpikir, menemukan arti, dan menentukan mimpi. Kemudian jawablah pertanyaan ini, “Apa impianmu?”. Dan ketika kita mulai menjawab pertanyaan itu dengan hati, akal, raga, dan hidup kita, kita akan menemukan makna belajar yang sejati.

Ibu kita Kartini telah memberikan teladan yang luar biasa dalam menjadi manusia yang merdeka. Manusia yang tidak membatasi proses belajar dalam sekat-sekat. Dalam suratnya pada Ny. Ovink Soer pada tahun 1900, Kartini menulis,
“Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik UNTUK TUGAS BESAR YANG TELAH KUPILIH”

Akhirnya semua pilihan tetap ada di tangan kita. Tetap menjadi robot yang bersekolah dengan terpaksa dan tanpa makna? Atau memulai menjadi manusia yang belajar dengan sadar dan penuh arti?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar