Minggu, 01 Februari 2009

APA SALAHNYA TIDAK SEKOLAH

Kritik atas tayangan "Halal" di Trans TV Minggu pagi 21 Des 2008

Kebetulan pagi itu, Minggu 21 Desember, saya nonton Program Halal yang mengangkat tema "laboring children" (mempekerjakan anak usia sekolah).
Sebagai pendukung ide "unschooling" (tidak sekolah) saya sangat tidak setuju dengan isi tayangan Halal tersebut.
Penggunaan dalil (istinbath) ayat al-Qur'an untuk mendukung program sekolah, bagi saya, sangat tidak tepat.

Pertama ayat 9 surat an-Nisaa':
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْـيَـتَّقُوا اللهَ وَلْـيَقُوْلُوا قَوْلاً سَدِيْدًا
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (an-Nisaa': 9)

Kedua ayat 27 surat al-Anfaal:
يَا أيـُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَخُوْنُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنـُوا أمَانَاتِكُمْ وَأنْـتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (al-Anfaal: 27)

Alasannya:

- Kedua ayat tersebut tak ada kaitannya dengan sekolah. Sederhana masalahnya: ayat-ayat al-Qur'an turun di sebuah peradaban yang belum mengenal sekolah. Nabi Muhammad saw itu tidak mengenal sekolah. Para ulama Islam abad pertengahan juga tidak mengenal sekolah. Tapi jelas, tak bisa dipungkiri, mereka adalah para pembelajar, pembelajar sepanjang hidup (lifetime). Mereka telah memproduksi banyak sekali karya tulis berjilid-jilid yang telah memenuhi khazanah pustaka keislaman, dan bahkan masih terus terpakai sampai sekarang. Yang harus digarisbawahi, bahwa tradisi kepenulisan di dunia Arab-Islam tidak lahir dari sekolah.

- Bahwa kita hendaknya takut meninggalkan anak turun kita dalam kondisi lemah iman-ilmu itu memang harus. Di samping itu, saya kira, tidak ada orang tua (yg normal) yang ingin anaknya tumbuh menjadi orang yang tidak baik, tidak bermanfaat. Oleh karenanya kita harus mendidik anak-anak kita dengan pendidikan yang baik dan benar. Sedangkan pendidikan itu sendiri tdk hanya terjadi di sekolah. Bahkan pendidikan yg terjadi di sekolah itu sebenarnya sangat-sangat minim. Mayoritas terjadi secara otomatis di keluarga dan lingkungan. Itulah makanya, dalam buku "Learning Revolution" oleh Gordon Dryden dan Jeannette Vos disebutkan bahwa sekolah utama adalah keluarga.

- Bahwa anak adalah amanat Allah yang dipercayakan pada kita itu benar. Tapi tidak benar bila tidak menyekolahkan anak berarti mengkhianati amanat. Kita baru bisa dianggap menyalahi amanat bila kita tidak mendidik anak-anak kita dengan baik. Orang tua adalah guru utama. Mereka akan selalu menjadi tauladan. Karenanya, biasanya, perkembangan seorang anak tak lepas dari keadaan keluarga. Bila keluarganya damai, bahagia, tentram, taat beragama, orang tua penuh perhatian, anak akan tumbuh sehat secara mental-spiritual. Sebaliknya juga iya. Hampir tidak ada anak di sekolah yang berprestasi yang berasal dari keluarga broken home. Anak yang berprestasi biasanya dari keluarga yg ideal, dan sebaliknya iya: anak yang dianggap nakal dari keluarga yg kacau.


Pendidikan vs Sekolah

Sekolah sangat berbeda dari pendidikan. Ini memang beda dari pandangan umum. Kebanyakan orang saat ini menyamakan antara sekolah dan pendidikan. Demikian juga belajar disamakan dengan sekolah. Maka muncullah istilah "wajib belajar 9 tahun". Dan parahnya, itu hanya dilaksanakan oleh sekolah. Sementara proses belajar di luar sekolah nyaris tak memperoleh pengakuan. Pemerintah sangat memandang sebelah mata terhadap pendidikan luar sekolah. Akibatnya, masyarakat pun sangat bergantung pada sekolah. Sekolah telah menjadi semacam candu. Semua orang bilang, "Anakmu tidak kamu sekolahkan... kelak mau jadi apa?!" Tidak hanya orang tua, anak-anak pun maunya masuk sekolah, karena jika tidak mereka tak akan punya teman. Karena semua anak saat jam sekolah berada di sekolah. Sepi di rumah.
Itulah keadaannya: fenomena pendidikan = sekolah. Pendidikan diminimalisir dan diredusir menjadi sebuah proses sementara: 5-6 jam sehari, sekitar 285 hari setahun (setelah dikurangi liburan). Atau sekitar 1425 jam (setahun) x 9 (tahun) = 12825 jam. Itu jika diasumsikan 5 jam sehari. Jika sehari diasumsikan 6 jam maka jumlahnya: 1710 jam (setahun) x 9 (tahun) = 15390 jam dalam sembilan tahun. Rata-rata sampai anak berusia 15-16 tahun. Jika dia dari keluarga mampu, maka akan melanjutkan sampai SMU. Lebih mampu lagi, sampai Universitas. Berkisar sampai umur 22 - 27 tahun. Usia setelah itu dianggap sebagai usia bekerja.
Pandangan Islam berbeda sekali. Islam mengajarkan bahwa :

- Menuntut ilmu adalah proses sejak bayi sampai mati (tholabul 'ilmi minal mahdi ilal lahdi). Ini artinya pendidikan adalah proses otomatis, alamiyah, lifetime. Secara fitrah manusia selalu menginginkan kebaikan-kebaikan. Dari baik menuju lebih baik...lebih baik lagi... dan seterusnya, tidak terbatas.

- Namun pada sisi yang lain Islam juga memaklumi bahwa manusia itu tidak lepas dari kesalahan dan lupa (al-insaanu mahallul khata' wan nisyaan), juga dosa-dosa yang disengaja karena adanya dorongan hawa nafsu. Oleh karena itu kewajiban menuntut ilmu ditegaskan dengan dalil lain lagi: tholabul 'ilmi fariidhotun 'alaa kulli muslimin wa muslimatin (Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim dan muslimah). Jika dengan dalil sebelumnya, Islam menunjukkan pada kita bahwa tholabul ilmi bisa berlangsung secara otomatis dan natural (secara alam bawah sadar), dengan dalil ini Islam menegaskan bahwa menuntut ilmu harus diupayakan secara sadar.
Jadi, belajar memang berlangsung dlm dua alam: sadar dan bawah sadar. Dan kedua-duanya dalam pandangan kami bisa saja dilakukan di luar jalur sekolah. Bahkan bisa lebih baik.

Memang, pendidikan bisa saja terjadi di sekolah. Tapi itu sangat..sangat minim. Apalagi melihat kondisi persekolahan di Indonesia seperti sekarang ini. Di mana orang-orang hanya menjadikannya wahana utk mengejar legalitas, formalitas, dan pengakuan dengan rupa selembar ijazah/sertifikat. Sementara substansi pendidikannya kabur. Bagi kami, satu hal yang harus didukung melalui institusi sekolah adalah prose pembentukan karakter/mental pelajar sepanjang hidup. Tujuannya agar siswa senantiasa sadar bahwa dia harus menjadi pelajar sepanjang hidup. Dan ini yang belum terjadi di persekolahan Indonesia.


Unschooling baik, wajar, dan perlu

Asumsi orang selama ini, bahwa unschooling berarti bodoh, nakal atau tidak punya biaya. Karenanya unschooling tidak menjadi pilihan. Mengapa orang-orang yang tidak sekolah rata-rata bodoh atau nakal?

Yang paling bertanggungjawab sebenarnya adalah lingkungan/masyarakat. Dalam lingkungan yang serba tergantung pada sekolah, wajar jika semuanya menyalahkan orang tua yang anak-anaknya tidak mau sekolah dan menganggap bodoh dan nakal pada anak-anak yang tidak sekolah. Semua orang sangat takut dan khawatir bila anaknya malas atau tidak suka sekolah.
Dan semua anak usia sekolah, termasuk yang tidak suka sekolah, menjadi takut tidak punya teman jika tidak masuk sekolah, sebab semua anak di waktu pagi berada di sekolah. Sepi di rumah.

Seperti itulah kondisi bangsa yang sakit, mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi pada sekolah. Padahal sudah diketahui birokrasi pendidikan dan banyak institusi sekolah dijalankan secara korup.

Orang yang sudah sadar bahwa sekolah itu tidak semuanya baik, bahkan banyak juga yang korup, tetap saja belum mampu memerdekakan diri dari ketergantungannya pada sekolah, sebab mereka tidak menemukan tempat lain agar memperoleh selembar kertas pengakuan (ijazah) kecuali di sekolah. Mereka sudah siap menanggung resiko, bahwa sesekali anaknya akan menjadi nakal karena bergaul dengan teman-temannya yang nakal di sekolah, menjadi pecundang, suka menyontek (karena rata-rata siswa doyan menyontek, bahkan sesekali guru-gurunya memberikan tip-tip ampuh agar aman dari pengawas). Mereka mengakui hal itu, dan siap mananggung resiko. Yang penting anak-anak mereka mendapat ijazah, bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi atau melamar pekerjaan dan menjadi "babu". Amanlah kehidupan anak di masa depan! Rata-rata semua orang memilih jalan yang "aman", karena rata-rata lapangan kerja menyaratkan selembar ijazah. Ngapain sulit-sulit berjuang menantang hidup, bila ada yang lebih aman?! Begitu pikir mereka.

Sementara itu masih banyak orang lugu dan awam yang berasumsi sekolah adalah dewa penyelamat yang bisa menjamin orang menjadi baik, pintar, dan sejahtera. Seakan-akan jika semua anak bangsa ini mencapai tingkat sarjana maka selesailah problem bangsa. Karena semua pintar, cerdas, dan mudah mencari pekerjaan.

Mereka tak sadar betapa banyak anak petani yang meninggalkan dunia pertanian gara-gara sekolah. Mereka menjadi gengsi bertani, meneruskan pekerjaan bapak-bapak mereka, karena pikiran mereka bertani adalah pekerjaannya orang-orang bodoh. Bertani berarti tidak punya duit. Orang tuanya pun demikian, alih-alih berharap agar anaknya menjadi pintar dan kelak mengembangkan pertaniannya di kampung, mereka justru berangan-angan anaknya mau sekolah setingg-tingginya agar kelak menjadi orang kantoran. Begitulah jalan pikiran mereka: ukuran kesuksesan menyekolahkan anak adalah bila si anak nantinya menjadi orang kantoran, berduit, berada di kota, dan semacamnya. Orang tua bangga karena anaknya telah sukses dan jauh dari kampung.

Inilah kenyataan yang harus ditentang. Dalam lingkungan yang sangat tergantung pada sekolah, para orang tua memperkecil perannya sebagai pendidik anak-anak mereka. Dan bahkan tidak sedikit orang tua yang pasrah sama para guru di sekolah, sementara itu mereka tidak lagi sadar bahwa mereka tetap mejadi tauladan bagi anak-anaknya. Disadari atau tidak, yang lebih berpengaruh pada perkembangan anak adalah keadaan rumah. Namun, ketika para orang tua tidak lagi sadar bahwa mereka lebih berpengaruh pada anak (daripada sekolah), lantas keseharian di rumah mereka tidak bisa membangun suasana yang kondusif bagi perkembangan anak, saat itulah perkembangan anak kian hari kian tidak jelas dan memprihatinkan.

Dengan demikian bisa disimpulkan, selama orang tua mampu membangun keadaan yang menyenangkan dan mendukung bagi perkembangan mental-spiritual serta daya kreatifitas anak maka itu sama halnya orang tua telah menyediakan sebuah wahana untuk proses pendidikan yang sangat baik, bahkan mengalahkan sebuah lembaga pendidikan yang paling bermutu di manapun.

Dan jika kita telah menyadari hal ini, maka unschooling merupakan sebuah pilihan untuk sebuah proses pendidikan yang jauh lebih bermutu dari pada sekolah. Unschooling adalah wajar, baik, dan perlu.

Munculnya semangat unschooling tidak semata dikarenakan bobroknya sistem persekolahan di negeri ini. Sebab, semakin maju sebuah peradaban, semakin pintar dan cerdas sebuah bangsa, akan semakin terpampang wawasan bahwa "unschooling merupakan jalan hidup yang wajar dan baik". Orang akan semakin tahu bahwa proses belajar yang sejati bisa efektif di manapun tempatnya, kapanpun waktunya, dan dengan siapapun orangnya.

Sehingga pada saatnya nanti, siapapun termasuk pemerintah harus melihat hasil belajar tidak melalui selembar kertas ijazah tapi pembuktian-pembuktian. Baik yang pernah duduk di bangku sekolah atau yang tidak (unschooling) dilihat secara adil. Untuk masuk ke dunia kerja manapun, persyaratan ijazah tidak menjadi mutlak (harus), tapi selalu berorientasi pada kemampuan atau prestasi.


Satu Dunia: Belajar dan Bekerja Sepanjang Hidup

Dalam wawasan unschooling tidak ada dualisme belajar dan bekerja. Tapi belajar dan bekerja adalah dua kegiatan yang berada dalam satu rentetan kehidupan, keduanya saling mendukung dan saling berkelindan. Bahkan dalam batas tertentu tak ada bedanya antara belajar dan bekerja. Saling mendukung artinya kita bekerja karena untuk membiayai atau memperbaiki proses belajar, dan kita belajar untuk meningkatkan kualitas pekerjaan. Saling berkelindan maksudnya proses belajar dan bekerja harus selalu berproses dinamis, waktunya senantiasa beriringan, dahulu-mendahului, dan sesekali tak menentu. Bekerja-belajar dan belajar-bekerja demikian terus sepanjang hidup. Dalam pengertian inilah (saling mendukung dan saling berkelindan) belajar dan bekerja menyatu dalam satu dunia. Jadi, tidak seperti pengertian umum bahwa dunia belajar adalah selama duduk di bangku sekolah atau kuliah dan selepas itu masuk ke dunia kerja.

Dalam wawasan unschooling dunia kerja tidak selalu berarti hal-hal yang menghasilkan duit untuk menafkahi keluarga, kendati hal seperti itu juga disebut bekerja. Bekerja, dalam pengertian yang paling mendasar, adalah setiap aktifitas yang menggerakkan fisik dan otak sekaligus. Menurut pengertian ini, belajar bisa dianggap sebagai bekerja. Dan dalam pengertian yang lebih komplek, bekerja adalah rangkaian aktifitas (fisik dan otak sekaligus) untuk memperoleh sebuah hasil berdasar teori-teori hasil belajar.

Hal yang terpenting adalah penyadaran bahwa proses bekerja demi membantu income orang tua merupakan bagian strategis untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Dan meningkatkan kualitas pembelajaran sama dengan meningkatkan kualitas hidup.

Dengan demikian anak kecil (usia sekolah) bekerja, selama itu tidak karena adanya tekanan, dilakukan secara sukarela, dan senang, maka hal itu dipandang baik-baik saja. Bahkan itu bisa menjadi sumber pembelajaran yang tidak ternilai. Bekerja sambil belajar, atau belajar sambil bekerja, atau bekerja lalu belajar, belajar lalu bekerja... demikian terus sepanjang hidup. Dengan beginilah hidup menjadi bermutu.

Salam

Arif Hidayat (alfaylaksana@telkom.net)

Pengelola Komunitas Belajar Kampung Pingin Maju
RT 03 RW 13 Bangsri, Jepara