Minggu, 01 Februari 2009

APA SALAHNYA TIDAK SEKOLAH

Kritik atas tayangan "Halal" di Trans TV Minggu pagi 21 Des 2008

Kebetulan pagi itu, Minggu 21 Desember, saya nonton Program Halal yang mengangkat tema "laboring children" (mempekerjakan anak usia sekolah).
Sebagai pendukung ide "unschooling" (tidak sekolah) saya sangat tidak setuju dengan isi tayangan Halal tersebut.
Penggunaan dalil (istinbath) ayat al-Qur'an untuk mendukung program sekolah, bagi saya, sangat tidak tepat.

Pertama ayat 9 surat an-Nisaa':
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْـيَـتَّقُوا اللهَ وَلْـيَقُوْلُوا قَوْلاً سَدِيْدًا
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (an-Nisaa': 9)

Kedua ayat 27 surat al-Anfaal:
يَا أيـُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَخُوْنُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنـُوا أمَانَاتِكُمْ وَأنْـتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (al-Anfaal: 27)

Alasannya:

- Kedua ayat tersebut tak ada kaitannya dengan sekolah. Sederhana masalahnya: ayat-ayat al-Qur'an turun di sebuah peradaban yang belum mengenal sekolah. Nabi Muhammad saw itu tidak mengenal sekolah. Para ulama Islam abad pertengahan juga tidak mengenal sekolah. Tapi jelas, tak bisa dipungkiri, mereka adalah para pembelajar, pembelajar sepanjang hidup (lifetime). Mereka telah memproduksi banyak sekali karya tulis berjilid-jilid yang telah memenuhi khazanah pustaka keislaman, dan bahkan masih terus terpakai sampai sekarang. Yang harus digarisbawahi, bahwa tradisi kepenulisan di dunia Arab-Islam tidak lahir dari sekolah.

- Bahwa kita hendaknya takut meninggalkan anak turun kita dalam kondisi lemah iman-ilmu itu memang harus. Di samping itu, saya kira, tidak ada orang tua (yg normal) yang ingin anaknya tumbuh menjadi orang yang tidak baik, tidak bermanfaat. Oleh karenanya kita harus mendidik anak-anak kita dengan pendidikan yang baik dan benar. Sedangkan pendidikan itu sendiri tdk hanya terjadi di sekolah. Bahkan pendidikan yg terjadi di sekolah itu sebenarnya sangat-sangat minim. Mayoritas terjadi secara otomatis di keluarga dan lingkungan. Itulah makanya, dalam buku "Learning Revolution" oleh Gordon Dryden dan Jeannette Vos disebutkan bahwa sekolah utama adalah keluarga.

- Bahwa anak adalah amanat Allah yang dipercayakan pada kita itu benar. Tapi tidak benar bila tidak menyekolahkan anak berarti mengkhianati amanat. Kita baru bisa dianggap menyalahi amanat bila kita tidak mendidik anak-anak kita dengan baik. Orang tua adalah guru utama. Mereka akan selalu menjadi tauladan. Karenanya, biasanya, perkembangan seorang anak tak lepas dari keadaan keluarga. Bila keluarganya damai, bahagia, tentram, taat beragama, orang tua penuh perhatian, anak akan tumbuh sehat secara mental-spiritual. Sebaliknya juga iya. Hampir tidak ada anak di sekolah yang berprestasi yang berasal dari keluarga broken home. Anak yang berprestasi biasanya dari keluarga yg ideal, dan sebaliknya iya: anak yang dianggap nakal dari keluarga yg kacau.


Pendidikan vs Sekolah

Sekolah sangat berbeda dari pendidikan. Ini memang beda dari pandangan umum. Kebanyakan orang saat ini menyamakan antara sekolah dan pendidikan. Demikian juga belajar disamakan dengan sekolah. Maka muncullah istilah "wajib belajar 9 tahun". Dan parahnya, itu hanya dilaksanakan oleh sekolah. Sementara proses belajar di luar sekolah nyaris tak memperoleh pengakuan. Pemerintah sangat memandang sebelah mata terhadap pendidikan luar sekolah. Akibatnya, masyarakat pun sangat bergantung pada sekolah. Sekolah telah menjadi semacam candu. Semua orang bilang, "Anakmu tidak kamu sekolahkan... kelak mau jadi apa?!" Tidak hanya orang tua, anak-anak pun maunya masuk sekolah, karena jika tidak mereka tak akan punya teman. Karena semua anak saat jam sekolah berada di sekolah. Sepi di rumah.
Itulah keadaannya: fenomena pendidikan = sekolah. Pendidikan diminimalisir dan diredusir menjadi sebuah proses sementara: 5-6 jam sehari, sekitar 285 hari setahun (setelah dikurangi liburan). Atau sekitar 1425 jam (setahun) x 9 (tahun) = 12825 jam. Itu jika diasumsikan 5 jam sehari. Jika sehari diasumsikan 6 jam maka jumlahnya: 1710 jam (setahun) x 9 (tahun) = 15390 jam dalam sembilan tahun. Rata-rata sampai anak berusia 15-16 tahun. Jika dia dari keluarga mampu, maka akan melanjutkan sampai SMU. Lebih mampu lagi, sampai Universitas. Berkisar sampai umur 22 - 27 tahun. Usia setelah itu dianggap sebagai usia bekerja.
Pandangan Islam berbeda sekali. Islam mengajarkan bahwa :

- Menuntut ilmu adalah proses sejak bayi sampai mati (tholabul 'ilmi minal mahdi ilal lahdi). Ini artinya pendidikan adalah proses otomatis, alamiyah, lifetime. Secara fitrah manusia selalu menginginkan kebaikan-kebaikan. Dari baik menuju lebih baik...lebih baik lagi... dan seterusnya, tidak terbatas.

- Namun pada sisi yang lain Islam juga memaklumi bahwa manusia itu tidak lepas dari kesalahan dan lupa (al-insaanu mahallul khata' wan nisyaan), juga dosa-dosa yang disengaja karena adanya dorongan hawa nafsu. Oleh karena itu kewajiban menuntut ilmu ditegaskan dengan dalil lain lagi: tholabul 'ilmi fariidhotun 'alaa kulli muslimin wa muslimatin (Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim dan muslimah). Jika dengan dalil sebelumnya, Islam menunjukkan pada kita bahwa tholabul ilmi bisa berlangsung secara otomatis dan natural (secara alam bawah sadar), dengan dalil ini Islam menegaskan bahwa menuntut ilmu harus diupayakan secara sadar.
Jadi, belajar memang berlangsung dlm dua alam: sadar dan bawah sadar. Dan kedua-duanya dalam pandangan kami bisa saja dilakukan di luar jalur sekolah. Bahkan bisa lebih baik.

Memang, pendidikan bisa saja terjadi di sekolah. Tapi itu sangat..sangat minim. Apalagi melihat kondisi persekolahan di Indonesia seperti sekarang ini. Di mana orang-orang hanya menjadikannya wahana utk mengejar legalitas, formalitas, dan pengakuan dengan rupa selembar ijazah/sertifikat. Sementara substansi pendidikannya kabur. Bagi kami, satu hal yang harus didukung melalui institusi sekolah adalah prose pembentukan karakter/mental pelajar sepanjang hidup. Tujuannya agar siswa senantiasa sadar bahwa dia harus menjadi pelajar sepanjang hidup. Dan ini yang belum terjadi di persekolahan Indonesia.


Unschooling baik, wajar, dan perlu

Asumsi orang selama ini, bahwa unschooling berarti bodoh, nakal atau tidak punya biaya. Karenanya unschooling tidak menjadi pilihan. Mengapa orang-orang yang tidak sekolah rata-rata bodoh atau nakal?

Yang paling bertanggungjawab sebenarnya adalah lingkungan/masyarakat. Dalam lingkungan yang serba tergantung pada sekolah, wajar jika semuanya menyalahkan orang tua yang anak-anaknya tidak mau sekolah dan menganggap bodoh dan nakal pada anak-anak yang tidak sekolah. Semua orang sangat takut dan khawatir bila anaknya malas atau tidak suka sekolah.
Dan semua anak usia sekolah, termasuk yang tidak suka sekolah, menjadi takut tidak punya teman jika tidak masuk sekolah, sebab semua anak di waktu pagi berada di sekolah. Sepi di rumah.

Seperti itulah kondisi bangsa yang sakit, mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi pada sekolah. Padahal sudah diketahui birokrasi pendidikan dan banyak institusi sekolah dijalankan secara korup.

Orang yang sudah sadar bahwa sekolah itu tidak semuanya baik, bahkan banyak juga yang korup, tetap saja belum mampu memerdekakan diri dari ketergantungannya pada sekolah, sebab mereka tidak menemukan tempat lain agar memperoleh selembar kertas pengakuan (ijazah) kecuali di sekolah. Mereka sudah siap menanggung resiko, bahwa sesekali anaknya akan menjadi nakal karena bergaul dengan teman-temannya yang nakal di sekolah, menjadi pecundang, suka menyontek (karena rata-rata siswa doyan menyontek, bahkan sesekali guru-gurunya memberikan tip-tip ampuh agar aman dari pengawas). Mereka mengakui hal itu, dan siap mananggung resiko. Yang penting anak-anak mereka mendapat ijazah, bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi atau melamar pekerjaan dan menjadi "babu". Amanlah kehidupan anak di masa depan! Rata-rata semua orang memilih jalan yang "aman", karena rata-rata lapangan kerja menyaratkan selembar ijazah. Ngapain sulit-sulit berjuang menantang hidup, bila ada yang lebih aman?! Begitu pikir mereka.

Sementara itu masih banyak orang lugu dan awam yang berasumsi sekolah adalah dewa penyelamat yang bisa menjamin orang menjadi baik, pintar, dan sejahtera. Seakan-akan jika semua anak bangsa ini mencapai tingkat sarjana maka selesailah problem bangsa. Karena semua pintar, cerdas, dan mudah mencari pekerjaan.

Mereka tak sadar betapa banyak anak petani yang meninggalkan dunia pertanian gara-gara sekolah. Mereka menjadi gengsi bertani, meneruskan pekerjaan bapak-bapak mereka, karena pikiran mereka bertani adalah pekerjaannya orang-orang bodoh. Bertani berarti tidak punya duit. Orang tuanya pun demikian, alih-alih berharap agar anaknya menjadi pintar dan kelak mengembangkan pertaniannya di kampung, mereka justru berangan-angan anaknya mau sekolah setingg-tingginya agar kelak menjadi orang kantoran. Begitulah jalan pikiran mereka: ukuran kesuksesan menyekolahkan anak adalah bila si anak nantinya menjadi orang kantoran, berduit, berada di kota, dan semacamnya. Orang tua bangga karena anaknya telah sukses dan jauh dari kampung.

Inilah kenyataan yang harus ditentang. Dalam lingkungan yang sangat tergantung pada sekolah, para orang tua memperkecil perannya sebagai pendidik anak-anak mereka. Dan bahkan tidak sedikit orang tua yang pasrah sama para guru di sekolah, sementara itu mereka tidak lagi sadar bahwa mereka tetap mejadi tauladan bagi anak-anaknya. Disadari atau tidak, yang lebih berpengaruh pada perkembangan anak adalah keadaan rumah. Namun, ketika para orang tua tidak lagi sadar bahwa mereka lebih berpengaruh pada anak (daripada sekolah), lantas keseharian di rumah mereka tidak bisa membangun suasana yang kondusif bagi perkembangan anak, saat itulah perkembangan anak kian hari kian tidak jelas dan memprihatinkan.

Dengan demikian bisa disimpulkan, selama orang tua mampu membangun keadaan yang menyenangkan dan mendukung bagi perkembangan mental-spiritual serta daya kreatifitas anak maka itu sama halnya orang tua telah menyediakan sebuah wahana untuk proses pendidikan yang sangat baik, bahkan mengalahkan sebuah lembaga pendidikan yang paling bermutu di manapun.

Dan jika kita telah menyadari hal ini, maka unschooling merupakan sebuah pilihan untuk sebuah proses pendidikan yang jauh lebih bermutu dari pada sekolah. Unschooling adalah wajar, baik, dan perlu.

Munculnya semangat unschooling tidak semata dikarenakan bobroknya sistem persekolahan di negeri ini. Sebab, semakin maju sebuah peradaban, semakin pintar dan cerdas sebuah bangsa, akan semakin terpampang wawasan bahwa "unschooling merupakan jalan hidup yang wajar dan baik". Orang akan semakin tahu bahwa proses belajar yang sejati bisa efektif di manapun tempatnya, kapanpun waktunya, dan dengan siapapun orangnya.

Sehingga pada saatnya nanti, siapapun termasuk pemerintah harus melihat hasil belajar tidak melalui selembar kertas ijazah tapi pembuktian-pembuktian. Baik yang pernah duduk di bangku sekolah atau yang tidak (unschooling) dilihat secara adil. Untuk masuk ke dunia kerja manapun, persyaratan ijazah tidak menjadi mutlak (harus), tapi selalu berorientasi pada kemampuan atau prestasi.


Satu Dunia: Belajar dan Bekerja Sepanjang Hidup

Dalam wawasan unschooling tidak ada dualisme belajar dan bekerja. Tapi belajar dan bekerja adalah dua kegiatan yang berada dalam satu rentetan kehidupan, keduanya saling mendukung dan saling berkelindan. Bahkan dalam batas tertentu tak ada bedanya antara belajar dan bekerja. Saling mendukung artinya kita bekerja karena untuk membiayai atau memperbaiki proses belajar, dan kita belajar untuk meningkatkan kualitas pekerjaan. Saling berkelindan maksudnya proses belajar dan bekerja harus selalu berproses dinamis, waktunya senantiasa beriringan, dahulu-mendahului, dan sesekali tak menentu. Bekerja-belajar dan belajar-bekerja demikian terus sepanjang hidup. Dalam pengertian inilah (saling mendukung dan saling berkelindan) belajar dan bekerja menyatu dalam satu dunia. Jadi, tidak seperti pengertian umum bahwa dunia belajar adalah selama duduk di bangku sekolah atau kuliah dan selepas itu masuk ke dunia kerja.

Dalam wawasan unschooling dunia kerja tidak selalu berarti hal-hal yang menghasilkan duit untuk menafkahi keluarga, kendati hal seperti itu juga disebut bekerja. Bekerja, dalam pengertian yang paling mendasar, adalah setiap aktifitas yang menggerakkan fisik dan otak sekaligus. Menurut pengertian ini, belajar bisa dianggap sebagai bekerja. Dan dalam pengertian yang lebih komplek, bekerja adalah rangkaian aktifitas (fisik dan otak sekaligus) untuk memperoleh sebuah hasil berdasar teori-teori hasil belajar.

Hal yang terpenting adalah penyadaran bahwa proses bekerja demi membantu income orang tua merupakan bagian strategis untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Dan meningkatkan kualitas pembelajaran sama dengan meningkatkan kualitas hidup.

Dengan demikian anak kecil (usia sekolah) bekerja, selama itu tidak karena adanya tekanan, dilakukan secara sukarela, dan senang, maka hal itu dipandang baik-baik saja. Bahkan itu bisa menjadi sumber pembelajaran yang tidak ternilai. Bekerja sambil belajar, atau belajar sambil bekerja, atau bekerja lalu belajar, belajar lalu bekerja... demikian terus sepanjang hidup. Dengan beginilah hidup menjadi bermutu.

Salam

Arif Hidayat (alfaylaksana@telkom.net)

Pengelola Komunitas Belajar Kampung Pingin Maju
RT 03 RW 13 Bangsri, Jepara

Sabtu, 27 Desember 2008

SUDAHKAH KITA BELAJAR?

Sebuah refleksi kritis terhadap pengalaman dalam proses pendidikan formal

Jaka Arya Sakti

“Untuk apa kamu sekolah?”, pertanyaan sederhana yang mungkin setiap orang yang bersekolah dapat dengan mudah menjawabnya. “Untuk belajar dong!”, dengan semangat sebagian besar kita akan menjawab. Oke, sekolah untuk belajar. Sekarang kita berandai-andai, andai saja ketika kita lahir tidak pernah ada sesuatu yang namanya sekolah, kira-kira masih ada tidak sesuatu yang namanya belajar? Lagi-lagi dengan semangat, sebagian besar kita akan menjawab, “Ya ada dong!”. Siip, berarti belajar tidak harus bergantung sekolah kan? Pertanyaan selanjutnya, bersediakah kita keluar dari sekolah? Toh sekolah atau tidak, kita masih bisa belajar. Nah, dari hasil observasi, hampir setiap orang yang ditanya pertanyaan ini akan termenung dulu, entah berpikir atau memang agak shock. Keluar dari institusi sekolah memang hal yang agak tidak biasa dalam norma masyarakat kita. Ternyata sebagian besar jawabannya adalah tidak. Loh? Kan tidak sekolah pun masih bisa belajar. Ternyata lagi, sebagian besar alasannya adalah IJAZAH. Loh? Loh? Loh? Coba kita ulang lagi pertanyaan pertama, “Untuk apa kamu sekolah?”. Loh? Kok diam?

Ya, kalau kita mau jujur terhadap diri kita sendiri, kita akan mengakui kalau proses kita bersekolah sudah begitu meaningless. Pernah merasa jenuh sekolah? Bosan menjalani rutinitas? Lari pagi agar tidak terlambat masuk sekolah, terkantuk-kantuk menahan bosan saat pelajaran, serta bersorak-sorai saat waktu istirahat dan pulang sekolah. Sebagian besar kita mungkin pernah melalui masa-masa itu. Saat akan menghadapi ujian atau ulangan barulah kita “belajar”. Tentunya mudah dimengerti kenapa ada tanda kutip mengapit kata belajar. Proses “belajar” kita di sekolah hanya berisi menghapal untuk menjawab soal-soal ujian. Hingga ada sebuah pertanyaan retoris lagi untuk kita, apakah karena kita belajar ada ujian atau karena ada ujian kita belajar?

Oke, katakanlah itu semua hanya bagian dari proses yang harus kita lalui. Katakanlah kita masih bisa berdalih angka nilai dalam ijazah itu adalah tolak ukur kemampuan hasil belajar kita. Pertanyaan selanjutnya, apa yang sudah bisa kita lakukan dalam kehidupan nyata dari hasil belajar yang diwakili angka nilai ijazah? Apa yang sudah bisa dilakukan seorang lulusan SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi untuk mengubah hidup dan masyarakat sekitarnya? Adakah sesuatu? Lagi-lagi jika kita mau jujur, kita akan menjawab tak ada yang kita perbuat. Sekalipun kita mampu, kita sudah terlanjur disterilkan dari realitas sekitar kita. Wajar Indonesia menjadi seperti saat ini.

Indonesia, sebuah negara yang (katanya) kaya raya, melimpah ruah sumber daya alamnya. Logisnya, Indonesia seharusnya menjadi salah satu yang maju dan sejahtera. Tapi kenyataanya tidak, sekitar 49% penduduk Indonesia, kira-kira 108,7 juta jiwa, standar hidupnya kurang dari 2 dolar per hari (versi World Bank, Oktober 2006). Tingkat pengangguran berdasarkan data tahun 2006 mencapai 11.6%. Dengan gelombang resesi ekonomi dunia, jumlah pengguran dan penduduk miskin ini boleh jadi bertambah seiring trend PHK yang terjadi. Lah kok bisa? Negeri kaya, tapi penduduknya miskin? Sekedar salah urus atau salah yang mengurus? Ya, manusia-manusia Indonesia belum cukup mampu mengoptimalkan kekayaan yang ada. Memang ada yang bisa memanfaatkan, tapi hanya untuk dirinya saja. Itu pun ada yang dengan merampas hak-hak orang lain. Dan hampir semua pelakunya adalah orang-orang “berpendidikan” yang “bersekolah”. Kenapa itu terjadi? Salah satunya akibat proses kompetisi semu dengan adanya mekanisme nilai dan peringkat kelas di sekolah. Pencapaian individu menjadi satu-satunya orientasi, bukan keberhasilan komunal. Indvidualisme bawaan ideologi kapitalis telah mengalahkan semangat gotong royong Indonesia. Ketika terjadi “kerja sama” malah dalam kerangka pelanggaran aturan seperti contek mencontek, tawuran, dan praktik-praktik kecurangan atau kejahatan lainnya. Dan inilah awal pembudayaan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ironis ya?

Realita ini tentunya membuat kita berpikir separah itukah pendidikan Indonesia. Tentu tidak, paling tidak semangat yang tercantum dalam konstitusi menunjukkan bahwa Indonesia punya visi dalam membangun manusia-manusianya. Pasal 31 UUD 1945 menyatakan dalam ayat 3 dan 5, bahwa (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; serta (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Ditambah lagi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Coba kita evaluasi diri kita dan perjalanan kita di sekolah, adakah semangat untuk mewujudkan visi ini? Hmmm. Jujur saja, tidak. Pertanyaan lagi, kenapa? Kenapa dalam implementasi pendidikan semangat ini tidak tercermin? Sederhana jawabnya, amanat konstitusi hanya menjadi simbol dan formalitas. Persis seperti sekolah, pendidikan Indonesia telah begitu meaningless.

Akibatnya, pelaku-pelaku sistem ekonomi kapitalis memanfaatkan pendidikan meaningless ini untuk kepentingannya (baca: keuntungan sebesar-besarnya) dan sukses mengaburkan paradigma masyarakat tentang esensi pendidikan. Proses pendidikan saat ini hanya dilihat sebagai proses pencetakan sumber daya manusia sebagai salah satu faktor produksi untuk disuplai ke pasar tenaga kerja. Karena itulah dibutuhkan ijazah, untuk memastikan standar yang diinginkan pasar dipenuhi. Ya, kita hanya disiapkan menjadi buruh. Lebih buruk lagi kita disiapkan menjadi robot, bukan lagi manusia. Robot yang diprogram, menghapal ini, menguasai itu, namun tak pernah tahu apa yang dia inginkan, kenapa dia melakukan itu. Karena itulah Paulo Freire, seorang filosof dan pemikir pendidikan alternatif asal Brasil, menamakan proses ini sebagai dehumanisasi, yaitu proses yang menjadikan manusia tidak lagi manusia. Wajar kemudian ada sebagian manusia menindas yang lain dan yang tertindas tak peka lagi dengan penindasan yang menimpanya, karena keduanya sama-sama telah kehilangan kemanusiaannya.

Proses pendidikan formal di sekolah telah menjauhkan manusia dari esensi kemanusiaannya. Apa esensi kemanusiaan kita? Esensi kemanusiaan kita adalah kemampuan berpikir dan menyadari tujuan kemanusiaan kita (sebut saja misi hidup) kemudian menentukan peran (sebut saja visi hidup atau cita-cita) apa yang kita ambil dalam menjalani tujuan kemanusiaan itu. Dua substansi inilah beda kita dengan hewan dan tumbuhan yang mengikuti naluri. Manusia mengembangkan potensi, mengambil pilihan, dan mendedikasikan dirinya untuk menjalankan tujuan kemanusiaan serta menjalankan peran yang dipilih secara sadar. Hmmm. Jika begitu, sudahkah kita menjadi manusia?

Oke, sebelum tulisan ini menjadi semakin panjang dan membosankan, kita ambil saja kesimpulan sementara sampai sejauh ini. Pendidikan formal (baca: sekolah) yang kita lalui ternyata tak seideal yang kita bayangkan. Sekolah telah membuat kita membatasi proses belajar kita, bahkan menggantinya dengan lomba mengejar ijazah. Jadi, sudahkah kita belajar? Jika kita pernah mengalami beberapa contoh yang di atas, boleh jadi kita belum benar-benar belajar. Kita hanya menghapal, menjalani rutinitas, menjadi robot. Dan kita bisa mulai melawan kawan! Lawanlah dengan kesadaran bahwa belajar tidaklah terbatas kelas, tidak terbatas waktu, tidak terbatas mata pelajaran!

Kita tidak boleh membiarkan sekolah membuat kita kehilangan kesadaran tentang tujuan kemanusiaan dan peran yang harus kita ambil. Karena kesadaran inilah yang membuat kita berbeda dengan si monyet, si lalat, si bakteri, si pohon toge, karena kita manusia. Manusia yang menggunakan hati dan akalnya untuk bisa memilih. Manusia yang merdeka dalam berpikir, menemukan arti, dan menentukan mimpi. Kemudian jawablah pertanyaan ini, “Apa impianmu?”. Dan ketika kita mulai menjawab pertanyaan itu dengan hati, akal, raga, dan hidup kita, kita akan menemukan makna belajar yang sejati.

Ibu kita Kartini telah memberikan teladan yang luar biasa dalam menjadi manusia yang merdeka. Manusia yang tidak membatasi proses belajar dalam sekat-sekat. Dalam suratnya pada Ny. Ovink Soer pada tahun 1900, Kartini menulis,
“Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik UNTUK TUGAS BESAR YANG TELAH KUPILIH”

Akhirnya semua pilihan tetap ada di tangan kita. Tetap menjadi robot yang bersekolah dengan terpaksa dan tanpa makna? Atau memulai menjadi manusia yang belajar dengan sadar dan penuh arti?

PENDIDIKAN ALTERNATIF SANGAT ISLAMI




Prinsip-prinsip Utama

• Lakukan praktek belajar yang sejati. (طلب العلم)
• Luruskan orietasi belajar untuk kehidupan dunia dan akhirat yang lebih baik. (حسن النية)
• Belajar dan bekerja, belajar dan bekerja terus sepanjang hidup. (تناسق العلم والعمل على مدى الحياة)
• Berbagi ilmu dan berbagi fasilitas. التعاون في البر والتقوى))
• Belajar kapan saja, di mana saja, dengan siapa saja. (في أي وقت، وفي أي مكان، ومع أي شخص)
• Bebas berekspresi, sungguh-sungguh, tulus, berani, kontinyu. (الأخلاق الكريمة، الجُُُُُُُُهْد، الإخلاص، الجُرْأَة، الإستقامة)
• Demokratis dan menyenangkan. (الشورى والسرور)


Bagaimana Sebenarnya Tholabul ilmi?

• طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة (الحديث)
• Menuntut ilmu (tholabul ilmi) adalah kewajiban. Sekolah tidak kewajiban.
• Tholabul ilmi adalah suatu tindakan yang aktif (tidak pasif).
• Tholabul ilmi hanya efektif dalam keadaan yang menyenangkan dan demokratis.
• Pendidikan Alternatif sangat mendukung proses tholabul ilmi.


KBK = Kurikulum Berbasis Kebutuhan

• Tidak ada orang yang tidak punya kebutuhan atau keinginan.
• Ketika ingin/butuh sesuatu orang akan berusaha dan belajar untuk memperolehnya.
• Itulah mengapa orang yang belajar disebut murid (dari bahasa Arab مُرِيْدٌ = orang yang berkeinginan).
• Jadi proses belajar yang sejati hanya bisa terjadi jika benar-benar berdasar keinginan atau kebutuhan.
• Maka tepat sekali jika KBK, dalam kalangan pendidikan alternatif, berarti Kurikulum Berbasis Kebutuhan.


Bukan Prestise Tapi Prestasi

• Tuhan adalah sumber kebaikan yang tersembunyi. Oleh karenanya semua orang menghendaki hidup yang baik dan dekat pada Tuhan.
• فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْ لِقاَءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا.... الآية.Barang siapa ingin bertemu Tuhannya maka hendaknya ia beramal/berkarya yang baik.
• Orientasi belajar: Belajar → Kehidupan (dunia & akhirat) yang baik → Tuhan
• Amal perbuatan, karya, prestasi adalah tumpuan kehidupan. It’s not prestige but “prestasi” (achievement).
• Jadi, mengapa percaya pada selembar ijasah?!


Pendidikan Alternatif Itu “Indonesia Banget”

• Nilai-nilai gotong-royong, tolong-menolong, toleransi, tanggungjawab sosial, adalah nilai-nilai yang sangat mendasari praktek Pendidikan Alternatif.
• Nilai-nilai itu pula yang menjadi pondasi beberapa produk budaya khas Indonesia seperti tanah bengkok, lumbung padi, RT (rukun tetangga), dan pesantren.
• Jadi Pendidikan Alternatif sangat sesuai dilaksanakan di Indonesia. Go alternative education, go Indonesian culture!
• حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ اْلإيْمَانِ (الحديث)


Teaching Is Not A Profession

• Yang berilmu wajib menularkan, yang belum berilmu wajib menuntut/mencari.
• Mengajar adalah kewajiban. Bagaimana mungkin menuntut bayaran dari sebuah kewajiban?
• إنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ يَتَّخِذُ الْمِهْنَةَ لِيَسْتَغْنِيَ بِـهَا عَنِ النَّاسِ وَيَبْغُضُ الْعَبْدَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ يَتَّخِذُهُ مِهْنَةً (الحديث)
• Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bekerja agar tidak bergantung pada orang lain, dan membenci hamba yang mempelajari ilmu lantas menjadikannya sebagai pekerjaan (sumber penghasilan).


The World Is Our Classroom

• Belajar di mana saja.
• Semua yang dijumpai di komunitas atau di mana saja adalah fasilitas belajar. Tidak harus memiliki sebuah fasilitas belajar sendiri.
• Kalaupun terpaksa harus memiliki sebuah fasilitas, sebaiknya fasilitas itu bisa diakses oleh orang lain warga komunitasnya (tidak hanya peserta belajar).
• تَعَاوَنُوْا عَلىَ الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإثْمِ وَالْعُدْوَانِ...(الآية)Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa. Dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan kemaksiatan.


Belajar Sepanjang Hidup

• Belajar kapan saja.
• Selama panca indra berfungsi, selama itu proses belajar terjadi. Sejak bayi sampai mati.طَلَبُ الْعِلْمِ مِنَ الْمَهْدِ إلَى اللَّحْدِ (الحديث)Menuntut ilmu dari ayunan sampai liang lahat.
• Bayangkan seandainya ada satu dari panca indra kita yang tidak berfungsi, proses belajar pasti sudah sangat terganggu.
• Belajarlah dari kisah Helen Keler seorang tokoh ternama di Inggris yang hanya punya dua indra yang berfungsi baik (peraba dan pebau).


Siapa Sih Guru Kita?

• Belajar dengan siapa saja.
• Lantaran dia kita mendapat ilmu, dialah guru kita. مَنْ عَلَّمَ الْعِلْمَ وَلَوْ حَرْفًا Siapa saja yang mengajarkan ilmu walaupun satu huruf.
• Tidak peduli anak kecil atau orang yang nampak gembel, jika kita mendapat ilmu melalui dia, dialah guru. أُنْظُرْ مَا قَالَ وَلاَ تَنْظُرْ مَنْ قَالَ (الأثر)Lihatlah apa yang dikatakan, jangan siapa yang berkata.


Moralitas Adalah Harga Mati

• Lakukan apa saja yang baik bagi diri sendiri dan orang lain.
• Jangan takut berbuat apa saja (bebas berekspresi) selama tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
• Mau belajar apa saja silahkan, sesuai minat dan kebutuhan. Belajar apa saja dengan cara yang baik dan berani.
• Jadi sudah benar urutannya: iman dulu baru ilmu.يَرْفََِعِ اللهُ الذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ (المجادلة: 11)Allah mengangkat derajatnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu.


Sudah Cukup Sabarkah Kita?

• Tidak ada pembenaran untuk memarahi siswa, apapun kesalahan atau kenakalannya. Dahulukan sikap sabar.يَا أَيُّها الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ، إنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ (البقرة: 153)Wahai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
• Mbolos, tidak memperhatikan keterangan pendamping (guru) di kelas, adalah hak.
• Pendekatan personal dan nasehat yang santun adalah cara paling ampuh.أُدْعُ إلىَ سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أحْسَنُ... (النحل: 125)Ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.


Apa Itu “Sangat Islami”?

• Sangat islami berarti sangat progressif, sangat manusiawi, sangat universal, sangat pluralis, sangat terbuka, sangat adil, sangat sabar, sangat teguh berprinsip, sangat toleran, sangat tidak mudah putus asa, sangat berani, sangat tegas, sangat demokratis, dan sangat luwes.... sangat....semuanya yang baik-baik.


Pendidikan Alternatif vs. Formal

Pend. Alternatif Pend. Formal

Tidak mengutamakan ijasah (tapi karya) Mengutamakan ijasah
Siswa sebagai subyek Siswa sebagai obyek
Demokratis Diatur
Pendamping belajar bersama siswa Guru mengajar siswa
Bebas berekspresi, santai Rapi, tegang
Berbasis komunitas Berbasis sekolah
Semangat berbagi fasilitas Semangat memiliki fasilitas
Sangat Indonesia Sangat Barat